Bismillaahirrahmaanirrahiim...
Setiap orang berjuang dengan ujiannya masing-masing. Aku menulis ini bukan karena aku sudah sembuh dari postpartum depression. Aku menulis untuk sarana berbagi dan juga sebagai salah satu ikhtiar dalam penyembuhan diri :)
Baby blues syndrome adalah perasaan yang sangat sedih di hari-hari setelah bayi lahir dan itu sangat normal. Bunda biasanya mengalami sindrom "baby blues" dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan saat terburuk adalah 3 atau 4 hari sesudah kelahiran. (Sumber: https://www.cussonsbaby.co.id/)
Berbeda dengan kondisi baby blues yang terjadi selama 7-14 hari setelah melahirkan, postpartum depression (PPD) biasanya lebih parah dan berlangsung lebih lama. Karena itu, waspadalah apabila depresi terjadi lebih dari 14 hari atau berdampak signifikan pada sang ibu, bayi, beserta keluarga. (Sumber: https://www.alodokter.com/)
Sepertinya aku sudah masuk masuk ke kondisi PPD. Sudah lebih dari dua tahun. Sejak anak pertama usia dua bulan sampai sekarang anak kedua usianya sudah delapan bulan. Sesuatu banget kan? :")
Gejalanya kurang lebih sebagai berikut:
1. Suka nangis tiba-tiba
2. Emosi/kesal berlebihan
3. Merasa gagal menjadi ibu
4. Insomnia
5. Kepala sakit mulai dari dahi sampai kepala bagian belakang
6. Halusinasi (ini yang paling seram karena bisa memicu seluruh gejala, terutama yang poin 7 dan 8)
7. Berusaha menyakiti diri sendiri dengan meninju tembok karena kepala terasa penuh seperti mau pecah
8. Beberapa kali terbesit pikiran untuk menyakiti anak sendiri
Orang-orang di lingkaran terdekat yang seharusnya jadi supporting system ternyata adalah orang yang paling sering berkomentar ketika aku menjadi ibu baru. Komentar standar sih sepertinya bagi seluruh penduduk Indonesia. Tapi, bagiku yang hormonnya masih berantakan pasca melahirkan, masih penyesuaian dengan kondisi fisik yang harus sering terjaga, ditambah lagi dengan rasa sedih karena gak bisa ikut Ibu pulang ke kampung halaman (ini sedih banget lho, serius), komentar-komentar ini sangat jahat.
"ASI-nya keluar gak sih? Itu anaknya nangis terus."
"Ibunya ke mana sih nih? Anaknya nangis tapi mandinya lama banget."
Dua kalimat ini yang paling sering aku temui pertama kali. Seumur-umur, aku gak pernah "dibentak-bentak" dengan cara seperti ini sama keluarga. Pun dengan keluarga besar. Kenapa aku definisikan itu sebagai bentakan? Karena suaranya yang keras dan nadanya yang ketus bagiku. Ya, mungkin ini ada faktor perbedaan budaya keluarga juga. Dan ini, jujur, hingga sekarang pun aku belum terbiasa :")
Kalau mau membela diri, aku pasti bakal jelasin kalau aku mandinya lama karena aku sambil nyuci baju yang kecil-kecil pakai tangan. Aku gak mau merepotkan, sesederhana itu. Tapi, lagi-lagi karena aku gak terbiasa "menjawab" perkataan orang yang lebih tua, aku diam saja.
Diam, diam, dan diam. Lama-lama menumpuk di dalam diri. Mulai lah muncul sakit kepala di sekitar dahi. Segala rumitnya pikiran mengenai komentar-komentar negatif terus tertimbun hingga di satu titik kerumitan itu memicu sakit fisik.
Komentar tersebut terus berlanjut dan semakin tajam menurutku di saat anakku mulai MPASI. Memberi anak makanan instan, bukan berarti aku sama sekali gak memperkenalkan makanan rumahan ke anakku. Aku akui memang aku belum terlalu bisa memasak. Tapi aku belajar kok (yang mana memang jarang dilaporkan ke mana-mana. Pun via sosmed. Buat apa juga? Hehe..).
Sejujurnya komentar ini yang paling berbekas sampai sekarang karena kurasa ini sudah menyinggung pihak keluargaku juga. Aku yang gak suka makan daging, dikira karena keluargaku gak pernah masak daging. Harga diriku terusik. Aku mulai marah. Tapi lagi-lagi aku pendam. Perasaan gagal menjadi ibu muncul semenjak ini.
Gak berselang lama, halusinasi muncul. Kalau lagi sendirian di rumah, aku selalu merasa mendengar dan melihat teriakan-teriakan dan komentar-komentar itu. Bahkan secara gak sadar, aku menjawab teriakan-teriakan itu. Sejak halusinasi ini muncul, aku mulai merasa ada yang harus dibenahi di sini. Ini sudah mulai gak baik.
Aku mulai komunikasikan masalah ini ke suami, berharap bisa mendapat solusi.
Saran pertama yang suami berikan adalah: Perbanyak frekuensi bertemu. Mungkin ini karena belum terbiasa.
Saran ini pun dilaksanakan. Frekuensi bertemu ditambah. Berjalan terus hingga dua tahun lebih. Tapi kurasa, depresiku malah bertambah parah. Bahkan untuk melihat wajah orang itu, aku sudah gak berani. Setakut itu.
Puncak depresi ini kira-kira mulai terlihat dua bulan belakangan. Beberapa hari aku gak bisa tidur. Pernah dua hari berturut-turut gak tidur malam karena aku menangis tanpa henti, menjerit, meninju-ninju tembok, hingga membanting barang. Kepala sakit dari bagian dahi sampai bagian belakang.
Pernah juga di suatu kondisi, aku ingin menyakiti anakku karena aku merasa "semenjak ada mereka aku jadi dimarahin terus". Sedih banget kan? Astaghfirullaah.. Sebegitu dahsyatnya efek depresi ini.
Ini berbahaya sekali ya ternyata. Gak hanya buat aku, tapi juga anak dan suamiku.
Setelah browsing dan banyak masukan, mungkin di sini ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk para ibu penderita PPD.
1. Meminta pertolongan dan perlindungan Allah
Bukan, bukan karena kita kurang iman, insya Allah. Bahkan seorang ibu yang setiap harinya membaca 5 juz Al-Qur'an pun bisa terkena depresi. Kita meminta pertolongan Allah untuk diberi kekuatan dan kemudahan dalam melalui ujian ini. Juga meminta perlindungan Allah dari hal-hal yang membahayakan diri sendiri, anak, dan keluarga kita.
2. Perbanyak komunikasi dengan suami
Terkadang tekanan itu terasa bertambah berat karena kita gak bisa bercerita atau sekedar curhat ke orang lain. Apabila penyebab/pemicu depresi kita adalah orang terdekat, mungkin kita juga akan sungkan untuk bercerita ke keluarga. Khawatir memicu masalah lain dan malah bertambah rumit. Suami seharusnya menjadi garda terdepan dalam menampung keluh kesah istri. Pelukan yang sedikit lebih erat, lebih lama, insya Allah bisa membantu menenangkan.
3. Konsultasi dengan psikolog
Menurut pendapat beberapa orang, jika stres sudah diikuti dengan sakit fisik (dalam hal ini aku kena sakit kepala akut) dan halusinasi, ini kondisinya sudah berat. Harus dikonsultasikan dengan ahlinya.
Aku belum sampai ke tahap ini. Tapi sudah minta tolong dicarikan psikolog yang amanah ke kawan dekat.
4. Maafkan dan terima kondisi dengan ikhlas
Berat memang. Minta ke Allah untuk dimudahkan ya :)
Bisa jadi beliau-beliau yang berkomentar ini memang terbiasa hidup di lingkungan penuh dengan komentar. Bisa jadi beliau punya inner child yang belum terselesaikan. Bisa jadi memang karakternya demikian, ke siapa saja, bukan hanya ke kita.
Some people are just controlling. “Anything outside the realm of their control (you, your family, their adult child, the rest of the world) is very threatening.
5. Jaga lisan
Kita memang gak bisa mengatur lisan orang lain, tapi kita bisa mengatur lisan kita sendiri. Jangan sampai apa yang kita bicarakan justru menyakiti hati orang lain. Semoga kita terhindar dari lisan yang zhalim. Iya, zhalim. Karena efek lisan yang menyakitkan itu berbahaya. Ingat gejala depresi aku di poin 7 dan 8. Be empathy, people! :)
6. Allah berikan ujian bersama dengan kemudahan
Iya, kemudahan itu Allah berikan bersamaan dengan ujiannya. Dan kemudahan yang aku dapat dari ujian ini adalah suami yang super sabar, mau dengerin curhatan istrinya yang gak berkesudahan ini. Beliau pasti lelah, udah capek kerja, tapi masih harus berusaha mencari solusi dari masalah istrinya yang pastinya bagai memakan buah simalakama. Jazakallah khairan, Mas. Semoga Allah senantiasa merahmatimu ya. Aamiin :*
7. Carilah kegiatan lain untuk melepaskan energi negatifmu
Sulit memang. Apalagi bagi ibu dengan dua bayi. Mau buka laptop buat nulis ini aja susahnya minta ampun XD
Mungkin kalau aku, pelariannya bisa dengan aktif kembali menulis blog sambil sesekali edit-edit foto gak jelas. Yang penting hati senang :D
8. Jalan-jalan!
Ajak suami, anak-anak, dan keluargamu untuk mengisi waktu berkualitas di suasana yang berbeda. Kalau bisa, ajak mereka yang memang senang jalan-jalan ya. Kalau gak, jalan-jalannya justru bisa memancing kembali depresimu karena kamu gak bisa enjoy, malah menderita :)
9. Posting saja hasil masakanmu di sosmed!
Mungkin ada beberapa orang yang butuh bukti nyata kalau kamu bisa memasak, guys :)))
Walau rada gak penting buat orang yang baca, tapi semoga bisa meningkatkan kepercayaan dirimu, ya! *Ini ngomong sama diri sendiri*
Mohon maaf, dear teman-teman, kalau statusku kadang-kadang isinya foto masakan. Percayalah, ini bukan untuk pamer ke kalian kok :v
10. Jaga jarak pun tak apa
Jika memang ikhtiar dengan meningkatkan frekuensi bertemu dengan orang-orang yang negatif itu justru makin memperparah gejala depresimu, tak apa membuat jarak sejenak. Tenangkan pikiran agar halusinasi-halusinasi itu tak muncul dan berdampak negatif untukmu, anak-anakmu, dan suamimu. Itu resiko mereka karena sudah berbuat
Setiap orang berjuang dengan ujiannya masing-masing. Tak perlu mencemooh mereka yang menurutmu masalahnya sepele. Bagi mereka, itu adalah ujian besar. Gak perlu lah menghakimi mereka dengan berbagai pernyataan yang justru membuat mereka semakin sedih. Kalau mau berkomentar, cukup di dalam hati ya. Atau bisa juga sih diomongin di belakang mereka. Yang penting jangan sampai kalimat itu terdengar oleh mereka ya. Dengan catatan: Dosa ghibah ditanggung sendiri. Hehe..
Doakan aku biar segera sembuh ya, teman-teman. Semoga Allah mengampuni dan menguatkan kita yang sedang berjuang ini ya :)