Tak banyak yang bisa kuceritakan tentangnya di sini. Terlalu banyak kata2 yang akan keluar ketika aku harus bicara tentang sosok yang begitu kukagumi.
Seorang anak yatim yang begitu gigih bekerja untuk terus bersekolah. Walau mungkin Ibunya sendiri tak pernah menyuruhnya untuk tetap bersekolah sepeninggal sang Ayah. Menggembala kambing, mencari kayu bakar di hutan, menjadi kenek angkutan kota…
Berbekal kantung plastik untuk membawa buku pelajarannya, ia pergi dengan semangat menuju ke sekolah. Ia anak yang pandai. Terpandai di sekolahnya. Namun, hal itu tak membuatnya aman dari kejaran guru2 karena ia tak pernah memakai seragam ataupun sepatu saat di sekolah.
Ia berusaha tegar. Meskipun seringkali ia iri melihat teman2nya mendapatkan baju baru saat hari raya Idul Fitri tiba. Kepolosan kecil mendorongnya untuk mendatangi makam sang Ayah, “Pak, belikan aku baju baru…”
Waktu terus berjalan hingga ia bertemu dengan seseorang yang memang Allah takdirkan untuknya. Ketika ia menghadap Ayah sang Gadis dengan memakai baju pinjaman dari seorang sahabat, masih terbesit sebuah keraguan, “Apakah aku akan diterima?” Allah tahu kesungguhan dan niat tulusnya. Ia pun dapat bersanding dengan Gadis itu.
Kegigihannya untuk terus bersekolah masih terus berlanjut dan akhirnya membawanya ke pekerjaan yang begitu mulia, menjadi seorang Dosen. Ia menjadi satu2nya yang tidak menjadi pedagang di keluarga besarnya. “Dia itu orang hebat,” itulah yang sering diucapkan oleh kakak2 dan adiknya.
Mahasiswanya sering berkata bahwa ia orang yang galak. Namun, seringkali terlihat pancaran rasa hormat dan aura kedekatan yang begitu hangat terpancar ketika mereka berbincang2 dengannya. Tak satu pun mahasiswanya sakit hati ketika mendapat teguran darinya. Yang ada, mahasiswa itu malah menjadi mahasiswa yang paling dekat dengannya. Selalu bersilaturrahim ke rumahnya walau sebenarnya telah lulus lebih dari 6 tahun yang lalu.
Tak jarang pula mahasiswanya itu membawa sang pacar ke rumah hanya untuk memperkenalkan dan meminta pendapat sang dosen tentang pacarnya itu, apakah sudah pantas untuk maju ke jenjang pernikahan atau tidak (tentunya yang satu ini tanpa sepengetahuan sang pacar ^^)
Dengan bangga kukatakan bahwa aku adalah anak sang penggembala kambing itu. Aku adalah anak pencari kayu bakar itu. Aku adalah anak kenek angkutan itu…
Selalu terngiang di kepalaku tentang pesan2nya dulu. Pesan yang ditujukan untuk anaknya yang “ndableg” ini.
Bapak memang orang yang keras, namun Bapak adalah orang yang paling lembut hatinya ketika berhadapan dengan orang2 yang dicintainya.
Aku yakin orang2 di sekeliling Bapak sangat menyayangi beliau. Begitu pun kalian jika sudah mengenal beliau. Percaya lah…
Senyum tulus itu pun masih terus terbayang dengan jelas. Senyuman yang hadir walau ruh itu sudah tidak menyatu lagi dengan raga beliau.
Semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak dengan jannah-Nya. Dan semoga kita dapat berkumpul kembali di sana ya, Pak.. Aamiin..
Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shaghiraa…